Sumber : http://katolisitas.org (ditulis oleh: Ioannes Wirawan)

Tema rekoleksinya cukup menarik. Apalagi imam yang membawakan muda. “Kelihatannya aku akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa, nih,” pikirku. Setelah nyanyian ice breaking ringan, sesi materi dimulai. Setelah 10 menit pertama, aku mulai menyimpulkan bahwa imam muda ini kelihatannya kurang pintar berbicara. Cara penyajian gagasannya terllihat kurang rapi. Semestinya semua file yang akan digunakan di-copy dulu ke desktop laptop, jangan dibuka langsung dariflashdisk. Jadinya lemot dan lama membukanya. Selain itu, banyak video materi yang tidak bisa dimainkan.  Mungkin laptopnya sudah kebanyakan file atau virus.
Aku mulai merasa tidak nyaman. Kelihatannya aku tidak jadi mendapat apa-apa kalau begini terus. Pemikiran ini tersentak ketika mouse wireless operator laptop mati. Baterainya habis. Aku teringat bahwa ketika berangkat, entah kenapa aku merasa perlu membawa mouse wireless milikku. “Ah, nggak mungkin dipake,” gumamku pagi tadi. Seandainya aku bawa, kan mereka bisa pakai punyaku. Aku kembali teringat, bahwa ternyata di dalam tasku, aku membawa laptop pribadi saya. Saya menjadi menyesal karena lupa menawarkan laptop saya dari tadi. Padahal, saya duduk dekat dengan operator LCD. Peserta rekoleksi dari bangku belakang saja sampai maju ke depan untuk menawarkan laptopnya. Malah sedari tadi aku mengkritisi kekurangan ini dan itu. Aku merasa diriku egois sekali. Apakah ini yang menyebabkan rasa tidak nyaman ini? Apakah ini yang menyebabkan aku tidak bisa menangkap materi yang disampaikan?
Semakin direnungkan, aku menyadari bahwa ternyata aku berangkat menuju rekoleksi ini dengan disposisi hati yang tidak tepat. Aku ingin dilayani dalam rekoleksi ini, ibaratnya aku memasuki layanan spa rohani untuk dipijat, dibuat santai, dan dibuat nyaman. Ketika hal-hal yang terjadi tidak sesuai tuntutanku, aku langsung mengkritisi semua hal. Fokus dan tenaga yang seharusnya aku pusatkan pada Yesus akhirnya malah habis untuk mengomentari segala sesuatu. Sangat aneh, setelah menyadari bahwa aku telah bersikap egois, materi rekoleksi seakan tampak begitu masuk akal dan saling terhubung. Aku mulai bisa menangkap apa yang imam itu coba untuk sampaikan. Ego diri telah membentuk tembok penghalang bagiku untuk bisa mengerti isi rekoleksi.
Di tengah break rekoleksi, aku kembali berpikir apakah mungkin ini juga yang menyebabkan aku tidak dapat fokus di beberapa kesempatan Misa. Aku sibuk mengomentari paduan suara ibu-ibu yang fals, homili imam yang perlu repackagingsupaya menarik, nonik-nonik dengan baju yang lebih cocok untuk ke pantai, bapak-bapak yang sibuk dengan blackberrynya, dll. Tapi aku tidak sadar bahwa aku juga asyik sendiri di dalam Misa : asyik mengomentari orang lain. Mungkin aku datang ke Misa dengan mental orang-orang yang pergi ke Pusat Spa dan Refleksi, datang untuk dilayani. Ketika pelayanan tidak sesuai, komentar dan kritik mulai menjadi fokus perhatian.
Liturgi (Leitourgia/Yun : pelayanan publik) seharusnya menjadi tempat aku mempersembahkan pelayanan pada Allah bersama sesama anggota Gereja. Allah memang mencurahkan rahmat berlimpah dalam Misa untuk aku terima, namun aku tidak boleh lupa bahwa tujuan pertama dan utamaku adalah terlebih dahulu mempersembahkan diri pada Allah. Ketika mentalitas yang aku pegang adalah mentalitas spa rohani, tembok ego akan menutup mataku dari apa yang terjadi dalam Misa sehingga aku tidak akan mendapat apa-apa. Tuhan, maafkan aku yang selalu menuntut sehingga aku lupa memberikan diri.. Kanak-kanak Yesus, ini gulaliku. Walau tidak banyak, semoga dapat membuatMu tersenyum manis..

Engkau berkata,’Misanya lama’, maka aku menjawab,’karena cintamu terlalu singkat’” – St. Josemaria Escriva