Showing posts with label Renungan. Show all posts
Showing posts with label Renungan. Show all posts

Saturday, December 7, 2013


Syahadat para Rasul menyebutkan bahwa kita percaya akan Kristus…. “yang naik ke Surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa…”
Ada sejumlah orang yang mempertanyakan arti kalimat ini, sebab dengan Kristus duduk di “sebelah kanan Allah” maka sepertinya ada dua Allah yang dibicarakan di sini. Bagaimana memahami istilah ini? Mari mengacu kepada penjelasan St. Thomas Aquinas, sebab pertanyaan/ keberatan serupa juga pernah ditanyakan kepadanya. Yaitu: 1) Kalau Allah adalah Roh (Yoh 4:24) dan tidak bertubuh, maka bagaimana mungkin istilah “duduk di sebelah kanan” dapat digunakan di sini, sebab “duduk” itu mengacu kepada sikap tubuh. 2) Kalau dikatakan bahwa Kristus duduk di sisi kanan, artinya Bapa duduk di sisi kiri Kristus, sepertinya tidak mungkin demikian….
St. Thomas Aquinas menjawab keberatan/ pertanyaan ini, dengan mengacu kepada teks Kitab Suci, Mrk 16:19: “Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk (kathizō) di sebelah kanan Allah.”
“Saya menjawab, kata “duduk (kathizō)” mempunyai arti ganda; yaitu “tinggal (abide)” seperti dalam ayat Luk 24:49, “Tetapi kamu harus tinggal  (kathizō) di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi,” dan juga “kuasa kerajaan/ pemerintahan”, sebagaimana dalam Ams 20:8: “Raja yang bersemayam (kathizō ) di atas kursi pengadilan dapat mengetahui segala yang jahat dengan matanya.” Nah, dalam kedua arti inilah Kristus dikatakan “duduk” di sisi kanan Allah Bapa. Pertama-tama, sebab Ia tinggal secara kekal dan tak tergantikan dalam kebahagiaan Allah Bapa, maka Ia disebut sebagai tangan kanan-Nya, menurut Mzm 16:11, “…di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.” Maka St. Agustinus mengatakan (De Symb. i), “Duduk di sebelah kanan Allah Bapa’: Duduk artinya tinggal, seperti kita mengatakan tentang siapapun: ‘Ia duduk di negara itu selama tiga tahun’: Maka, percayalah, bahwa Kristus tinggal di sebelah kanan Allah Bapa: sebab Ia bahagia dan tangan kanan Bapa adalah istilah bagi nikmat-Nya.” Kedua, Kristus dikatakan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, karena Ia berkuasa bersama Bapa, dan mempunyai kuasa memerintah dari Dia, seperti seseorang yang duduk di sebelah kanan raja membantu sang raja dalam memerintah dan menghakimi. Maka St. Agustinus mengatakan (De Symb. ii): “Dengan istilah ‘tangan kanan’, pahamilah kuasa yang diterima oleh Orang ini yang dipilih Allah, sehingga dapat datang untuk mengadili, yang dulunya datang [ke dunia] untuk diadili.
Jawaban untuk keberatan 1): Sebagaimana dikatakan oleh St. Damaskinus (De Fide Orth. IV): “Kita tidak berbicara tentang sebelah kanan Allah Bapa sebagai sebuah tempat, sebab bagaimanakah mungkin sebuah tempat ditandai sebagai sebelah kanan-Nya, padahal DiriNya sendiri berada mengatasi segala tempat? Sebelah kanan dan kiri merupakan sesuatu yang ditentukan oleh suatu batasan. Namun kita mengartikan, sebelah kanan Allah Bapa, sebagai kemuliaan dan penghormatan bagi Allah.
Jawaban terhadap keberatan 2): Argumen ini baik seandainya ‘duduk di sebelah kanan’ itu diartikan secara lahiriah. Oleh karena itu St. Agustinus (De Symb. i) mengatakan: “Jika kita menerimanya dalam arti jasmani bahwa Kristus duduk di sebelah kanan Allah Bapa, maka Bapa akan duduk di sebelah kiri. Tetapi di sana”, yang adalah kebahagiaan/nikmat kekal, “itulah tangan kanan, sebab tak ada kesengsaraan di sana.”….” (Summa Theology III, q. 58, a.1)
Dengan penjelasan ini, kita mengetahui bahwa Gereja mengartikan istilah ‘duduk di sebelah kanan Allah Bapa’ tidak terbatas dengan pengertian kata duduk sebagaimana kita pahami pada dua orang yang duduk bersebelahan. Karena kata ‘duduk’ sendiri mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar meletakkan tubuh kita sedemikian di kursi/ tempat duduk. Maka Yesus dikatakan ‘duduk’  di sebelah kanan Allah Bapa, karena Ia tinggal bersama-sama Bapa dan mempunyai kuasa kepemimpinan, yang diterima-Nya dari Allah Bapa.

 Sumber : http://katolisitas.org

Posted on 11:35 PM by my blog

No comments

Wednesday, December 4, 2013

 

Belajar Melihat Batin

Resensi ini  pernah dimuat pada tanggal 11 Oktober 2012 di media.kompasiana.com


Peresensi : Anggono Wisnudjati
Judul Buku : Titik Hening: Meditasi Tanpa Objek
Penulis : J. Sudrijanta, SJ.
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 2012
Tebal : 207p.
ISBN : 978-979-21-3136-9
Harga : Rp 32.000,00  


Tidak semua orang peduli untuk apa ia hidup tapi semua orang pasti ingin tahu bagaimana cara bahagia. Keinginan tersebut jadi motor bagi manusia untuk mengoptimalkan rasionya. Perkembangan ilmu pengetahuan adalah salah satu hasil dari keberanian manusia dalam berpikir. Hanya saja teknologi yang sudah berkembang begitu pesat belum menjawab kerinduan manusia pada tiadanya penderitaan. Manusia masih terus mencari.

Proses pencarian manusia bukan hanya terarah keluar dirinya tapi juga ke dalam dirinya sendiri. Meditasi dapat disebut sebagai contoh pencarian ke dalam. Pada bagian pendahuluan, penulis buku menjelaskan bahwa dari segi metodologi, meditasi dibagi ke dalam dua kelompok yaitu meditasi dengan objek dan meditasi tanpa objek (hlm. 7). Perbedaan kedua jenis meditasi dapat dilihat dari tujuan dan sarana yang digunakan dalam menggapainya.

Bila meditasi dengan objek memiliki tujuan beragam, misalnya ketenangan dan kedamaian, maka meditasi tanpa objek hanya punya satu tujuan yaitu sadar dari saat ke saat dalam waktu yang lama (hlm. 14). Hal yang disadari adalah gerak batin, tubuh, objek-objek yang tercerap indera, dan objek-objek dalam batin (hlm. 32). Demikian pula dengan sarana yang dipakai. Penulis buku menjelaskan kalau meditasi dengan objek mempunyai jangkar atau fokus yang berbeda-beda. Ada yang memfokus pada nafas, rasa-perasaan tubuh, pendarasan kata-kata suci, dll. Ada pun meditasi tanpa objek menjadikan gerak batin sebagai ruang bagi kesadaran untuk tumbuh dan berkembang (hlm. 33).

Dari tujuan dan sarana meditasi tanpa objek dapat terlihat kalau ada dua hal penting yang perlu diketahui jika ingin berlatih meditasi ini. Kedua hal tersebut adalah objek dan gerak batin. Apa yang termasuk objek dan apa yang termasuk gerak batin?

Bagian pertama dari buku yang terbagi atas dua bagian ini menjawab pertanyaan tersebut. Bagian pertama buku adalah transkrip sesi dialog J. Sudrijanta, penulis buku sekaligus pendamping retret meditasi tanpa objek, dengan para peserta retret atau retretan. Sementara bagian kedua dari buku berisi testimoni dari beberapa retretan.

Lewat transkrip dialog, pembaca dapat paham bahwa yang disebut objek dapat masuk ke batin melalui indera-indera dan pikiran. Misalnya aroma pepohonan, cubitan pada lengan, dan ingatan-ingatan yang datang. Sedangkan gerak batin ialah reaksi batin saat objek-objek itu datang. Reaksi batin itu bisa berupa keinginan, kebencian, ketakutan, harapan, dll. (hlm. 32).

Melalui bagian testimoni, pembaca dapat merasakan apa yang dialami para retretan. Kesulitan-kesulitan, tantangan-tantangan, juga buah-buah yang mereka dapat saat melakukan meditasi tanpa objek. Kita selalu dapat belajar dari pengalaman orang lain, bukan?
Bagian lampiran buku yang ditulis imam jesuit ini juga menarik. Di sana penulis mentranskripkan salah satu sesi meditasi yang dilakukan kala retret 10 hari di Cibulan tahun 2011. Transkrip yang cermat membuat pembaca dapat sedikit mencicipi apa yang dilakukan dan dialami para retretan meditasi tanpa objek.

Memang meditasi tanpa objek tidak menjamin pelakunya dapat kebal dari kesulitan-kesulitan hidup. Apalagi seketika menjadi manusia yang bahagia hingga akhir hayat macam kisah-kisah dongeng. Namun, melaui meditasi ini, pelakunya dapat menyadari bahwa mengamati gerak batin merupakan sesuatu yang berharga untuk dilakukan dalam keseharian (hlm. 106). Mengetahui apa yang terjadi dalam batin dan apa yang berlangsung di luar batin membuat manusia tidak terseret dan hanya ikut arus kebiasaan belaka. Keheningan yang hadir memungkinkan manusia jadi otentik dan apa adanya dalam menjalani keseharian.
 

Posted on 10:29 PM by my blog

No comments

 
Gambar1. Santo Yohanes Dari Damaskus
 

ST. YUHANNA AL-DEMASHQI
(ST. YOHANES DARI DAMASKUS)
ORANG KUDUS DARI TANAH ARAB:

SANTO YUHANNA AL-DEMASHQI (YOHANES DARI DAMASKUS)
(675 atau 676 - 749)



Yuhanna al-Demashqi lebih dikenal di Gereja Barat dengan nama Yohanes dari Damaskus; dalam bahasa Inggris namanya adalah John of Damascus atau John Damascene; dalam bahasa Yunani ia sering disebut sebagai Krisoroas (Chrysorrhoas), yang artinya "yang dialiri emas", merujuk kepada karya tulisnya yang indah dan berharga bagai emas. Santo Yohanes dari Damaskus adalah salah seorang tokoh besar Kekristenan; ia adalah Bapa Gereja Timur dan pujangga Gereja Timur yang terbesar dan yang terakhir.

Yohanes dilahirkan sekitar tahun 675 atau 676 di Damaskus, Suriah (Syria). Keluarga Yohanes tetap setia menganut Kristen meskipun saat itu Damaskus telah jatuh ke tangan kaum Arab Muslim. Penguasa Muslim menaruh hormat pada keluarga Yohanes, sehingga mereka ditempatkan di posisi-posisi pemerintahan yang strategis. Ayah Yohanes sendiri menjadi kepala bagian keuangan yang bekerja di bawah kepala departemen pajak, Abdul Malik.

Saat Yohanes menginjak usia 23 tahun, ayahnya mencarikan guru beragama Kristen terbaik untuk mendidiknya. Guru pandai dan bijaksana ini ditemukan dalam diri Kosmas, seorang biarawan Sisilia yang saat itu ada antara kumpulan budak Kristen yang dijual di pasar. Ayah Yohanes membebaskan Kosmas dan menunjuknya sebagai guru pribadi Yohanes. Di bawah Kosmas, Yohanes banyak belajar dalam bidang musik, astronomi, teologi, dan matematika. Setelah ayahnya meninggal, Yohanes menggantikannya sebagai kepala penasehat kota Damaskus.

Pada periode Yohanes menjabat itulah, sebuah aliran sesat yang disebut ikonoklasme muncul dari Kekaisaran Byzantium. Para penganut ikonoklasme disebut ikonoklas; mereka ini adalah orang Kristen yang menafsirkan sendiri Perjanjian Lama secara terlalu harafiah, sehingga menolak pembuatan patung dan gambar Yesus, Maria, serta orang kudus sebagai alat bantu doa (mereka mengabaikan perikop di mana Allah jelas menyuruh pembuatan patung sebagai hiasan Tabut Perjanjian, dan ketika Allah menyuruh Musa membuat Tabernakel).

Akibat gerakan ini, banyak seni rupa Kristen yang dihancurkan oleh kaum ikonoklas. Yohanes adalah salah satu tokoh yang melawan aliran sesat ini. Sebagai seorang penulis yang handal, dan dengan didukung oleh penguasa Muslim, Yohanes menuliskan tiga jilid Risalah Apologetika Melawan Mereka yang Mencela Gambar Kudus (Apologetic Treatises against those Decrying the Holy Images).

Karya Yohanes membuat marah Kaisar Leo Isaurian dari Konstantinopel, penggerak ikonoklasme, sehingga ia membuat surat palsu yang memfitnah Yohanes. Karena surat ini, Yohanes diturunkan dari jabatannya dan tangan kanannya dipotong sesuai hukum Islam. Namun tangan kanan Yohanes secara ajaib dipulihkan setelah ia berdoa di depan gambar Perawan Maria.

Melihat mukijzat tersebut, atasannya kembali mempercayai Yohanes dan bermaksud mengangkatnya kembali menjadi pejabat. Namun Yohanes mengundurkan diri agar dapat menyepi di Biara Santo Sabbas di dekat Yerusalem, di mana ia terus menghasilkan syair-syair, komentar-komentar Kitab Suci, dan tulisan pembelaaan iman melawan berbagai aliran sesat. Yohanes meninggal tahun 749 sebagai seorang Bapa Gereja dan orang kudus.


====================================

Pesta Nama Santo Yohanes dari Damaskus dirayakan pada tanggal 4 Desember
 
Sumber   : facebook Gereja Katolik (https://www.facebook.com/gerejakatolik)
 

Posted on 1:55 PM by my blog

No comments

Di alam liar, anak-anak dapat belajar banyak hal secara langsung tanpa membuat mereka bosan. Bahkan pelajaran-pelajaran tersebut umumnya tak ditemuinya di sekolah, namun sangat penting di dalam kelangsungan hidupnya kelak. Dan, tak hanya anak-anak saja yang bisa memetik pelajaran, orang tua juga banyak belajar hal-hal penting dalam hidupnya, lewat hal-hal kecil yang mungkin sering dilewatkannya dalam keseharian. Seperti cerita, berikut ini... Suatu hari, seorang ayah mengajak anaknya bermain ke alam liar tak jauh dekat rumahnya.

Dengan membawa bekal secukupnya, mereka berencana bermain di sebuah sungai indah yang airnya sangat jernih. Uniknya, di sana banyak batang-batang dan akar-akar pohon yang menjuntai di atas air. Menjadikannya sebuah tempat yang sangat unik dan menarik. Di bawahnya, berlarian ikan-ikan kecil berwarna-warni. "Ini adalah sebuah pelajaran yang tepat sekaligus hiburan untukmu, anakku," ungkap ayahnya. Si kecil, Dewy-pun berlarian ceria di pinggir sungai itu. "Ayah, mari kita menyusuri sungai ini. Di seberang sana banyak bunga-bunga indah. Aku ingin memetiknya untuk ibu," kata Dewy. Sang ayah mengangguk, "sebentar coba ayah lihat dulu apakah benar pohon ini kuat menahan kita berdua.." sang ayahpun kembali, menyetujui saran Dewy dan mengajaknya menyeberang sungai. "De, coba pegang tangan ayah agar kamu tidak jatuh," "Tidak ayah. Kaulah yang seharusnya memegang tanganku," "Lho, apa bedanya?" "Beda ayah. Jika aku yang memegang tanganmu, bila sesuatu terjadi padaku, maka tanganku bisa terlepas.

Tetapi, bila kau memegang tanganku, aku percaya kau tak akan melepaskan aku sampai kapanpun, tak peduli apapun yang terjadi padaku..." Dan begitulah, setiap anak-anak percaya bahwa setiap orang tuanya akan menjaga dan melindunginya setiap waktu. Menaruh harapan yang besar sekalipun mungkin suatu hal buruk mungkin saja terjadi pada mereka berdua. Tetapi, anak-anak tak pernah peduli akan hal itu.

Selama ada orang tuanya, selama tangannya tetap digenggam, ia tetap akan merasa terlindungi.

Sumber   :
Facebook Bunda Santa Maria Perawan Suci (https://www.facebook.com/BMSPS)

Posted on 12:12 AM by my blog

No comments

Tuesday, December 3, 2013

MENGAPA GEREJA KATOLIK MEMILIKI MASA ADVEN?

Mengapa kita orang Katolik mempunyai Masa Adven, sedangkan saudara-saudari Protestan tidak? Mengapa secara liturgis dibedakan antara persiapan Adven dari Minggu I sampai tanggal 16 Desember dan mulai tanggal 17 Desember sampai 24 Desember? Apa alasan di balik pemisahan itu? Mengapa bacaan pertama selalu diambil dari Kitab Nabi Yesaya, padahal ada banyak nabi lainnya? Mohon penjelasan.

Attilano Nissim, Jakarta

Pertama, sejak abad-abad pertama sejarah Gereja, bisa dibuktikan bahwa selalu ada masa persiapan untuk menyongsong perayaan kelahiran Yesus di Betlehem. Persiapan itu dilakukan baik dalam perayaan-perayaan liturgis maupun dalam hidup rohani pribadi. Persiapan perayaan itu diarahkan kepada dua tujuan, yaitu persiapan untuk menyongsong pesta Natal tanggal 25 Desember dan perwujudan masa penantian kedatangan Yesus Kristus yang kedua sebagai Hakim Akhir Zaman. Dua arti Masa Adven ini diketahui dari catatan-catatan historis abad IV. Dua arti inilah yang juga dipertahankan oleh Konsili Vatikan II dalam pembaruan liturgi. Sangat mungkin Gereja-gereja Protestan tidak memiliki Masa Adven karena mereka kurang memperhatikan latar belakang sejarah dan ingin tampil berbeda dari Gereja induknya, yaitu Gereja Katolik.

Kedua, Masa Adven terdiri atas empat minggu dengan tema utama ”penantian”. Dua arti Adven di atas itulah yang melatarbelakangi pembedaan perayaan liturgis. Liturgi dari Minggu pertama sampai dengan tanggal 16 Desember lebih diarahkan kepada penantian eskatologis, yaitu kedatangan Yesus Kristus yang kedua, yaitu sebagai Hakim Akhir Zaman. Bacaan-bacaan liturgis diarahkan kepada tema ini. Sedangkan liturgi dari tanggal 17 Desember sampai dengan 24 Desember, baik dalam Perayaan Ekaristi maupun dalam Ibadat Harian, semua rumusan diarahkan secara lebih jelas kepada persiapan menyambut perayaan kelahiran Yesus di Betlehem. Bisa dikatakan bahwa bagian kedua ini adalah persiapan intensif jangka pendek untuk merayakan pesta kelahiran Tuhan.

Dua arti Adven di atas menunjukkan bahwa Masa Adven merangkum keseluruhan kekayaan teologis misteri kedatangan Tuhan di dalam sejarah sampai pada pemenuhannya. Kita bisa membedakan dua dimensi kehidupan para pengikut Kristus, yaitu dimensi eskatologis dan dimensi historis-sakramental.

Ketiga, dimensi eskatologis Masa Adven menunjukkan bahwa keselamatan yang telah kita terima dari Allah akan dibawa ke kesempurnaan pada akhir zaman (1 Ptr 1:5). Seluruh hidup manusia adalah wadah pelaksanaan janji-janji Allah yang akan terpenuhi pada ”hari Tuhan” (1 Kor 1:8; 5:5). Dimensi eskatologis ini mengingatkan kita akan tugas misioner Gereja untuk mewujudkan keselamatan itu sepenuhnya sampai kedatangan Kristus sekali lagi sebagai Hakim dan Penyelamat. Dimensi historis-sakramental Masa Adven merujuk pada Yesus sebagai perwujudan konkret keselamatan yang dinantikan. Tuhan yang dinantikan adalah Tuhan yang telah datang sepenuhnya dalam diri Yesus dari Nazaret. Hal ini menunjukkan betapa konkretnya penyelamatan manusia. Penyelamatan ini menyangkut manusia dalam keseluruhan dirinya dan juga seluruh umat manusia. Kristus sungguh datang dalam daging kita dan Kristus inilah yang akan menampakkan diri-Nya pada akhir zaman (Kis 1:11).

Keempat, kurang tepat kalau dikatakan bahwa bacaan pertama selalu diambil dari Kitab Nabi Yesaya. Yang benar ialah bahwa sebagian besar bacaan pertama dari periode pertama dan khususnya selama sepuluh hari pada awal Masa Adven, diambil dari Kitab Nabi Yesaya. Alasannya ialah karena Kitab Nabi Yesaya secara kuat menampilkan pengharapan besar akan kedatangan Mesias. Kitab Nabi Yesaya sungguh meneguhkan hati dan memberikan penghiburan bagi bangsa terpilih selama berabad-abad ketika mereka berjuang untuk tetap setia menantikan janji Allah. Pada sepuluh hari pada awal Masa Adven ini, bacaan pertama dari Yesaya menentukan tema Injil yang diambil. Ini adalah kebalikan dari praktik biasanya, yaitu bahwa bacaan Injil-lah yang dijadikan rujukan untuk menentukan bacaan pertama. Dengan mengambil bacaan dari Kitab Nabi Yesaya, Gereja membentuk kesatuan warta pengharapan abadi bagi manusia dari segala zaman.





 

Sumber    :
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--

Posted on 11:27 PM by my blog

No comments